Mengarak Sokok Keliling Kampung |
Tak ada pura, sesaji atau dupa. Tetapi di kampung pegayaman yang luasnya 1584 hektar area ini kita bisa menemukan masjid, beberapa mushola yang tersebar di lima banjar dinas, dan komplek sekolah Islam dari TK hingga SMA. Semua menjadi penanda Pegayaman sebagai kampung Islam.
Meski begitu, Pegayaman tak serta merta menghilangkan identitas Bali mereka. Ini terlihat dari masih banyaknya rumah penduduk yang berarsitektur khas Bali, --temtu saja tanpa sanggah atau tempat pemujaan keluarga--.mereka pun masih menggunakan bahasa Bali dalam percakapan sehari-hari. Bahkan nama-nama mereka kombinasi antara nama Islam dan Bali. Misalnya, Ketut Abbas, Wayah Hasyim, atau Ni Made Fatimah. Terdengar unik.
Masjid Jami' Safinatussalam |
Dalam hal penghidupan, rata-rata penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani di kebun kopi dan cengkeh. Tidak ada warganya yang bekerja di sektor pariiwisata, karena memang Pegayaman tidak memiliki obyek wisata sebagaimana daerah lainnya di Bali.
Tetapi bukan berarti tidak ada wisatawan yang berkunjung ke kampung Pegayaman ini. Pada saat tertentu ada saja satu dua rombongan turis lokal, umumnya pelajar atau mahasiswa, mengujungi Pegayaman untuk penelitian atau observasi Lapangan.
Tradisi Unik.
Sebetulnya Pegayaman bukan satu satunya kampung Islam di Bali. Ada kampung Kusamba, Klungkung, Sindu Keramas, Gianyar, Kepaon, Badung, kampung Islam Bugis di singaraja dan masih banyak lagi. Hanya yang memdedakannya, Pegayaman masih menjalankan tradisi budaya yang menjadi ciri khas kampung mereka.
Ketua adat di kampung Pegayaman menuturkan salah satu tradisi khas di Pegayaman adalah perayaan maulid nabi Muhammad saw. Acara yang puncaknya digelar pada 11, 12, dan 13 Rabiu’ul Awal ini ditunggu-tunggu warga kerena menyajikan hiburan terbesar sepanjang tahun. Persiapannya pun tak tanggung tanggung, memakan waktu satu sampai dua bulan.
Islam dan Kampung Pegayaman.
Bagaimana sejarahnya hingga Islam menjadi agama mayoritas di kampung Pegayaman?? Menurut ketua adat kampung Pegayaman, nenek moyang kampung ini berasal dari blambangan sekarang menjadi kabupaten banyuwangi.
Dulu saat menghadapi sebuah pertempuran, Raja Buleleng meminta bantuan ke kerajaan Blambangan. Dikirmlah sejumlah orang untuk membantu kerjaaan Buleleng. Setelah memenangkan pertempuran, Raja Buleleleng menghadirkan tanah untuk “para sahabat dari Blambangan”. Itulah yang menjadi cikal bakal Kampung Pegayaman.
Aktifitas keseharian di Pegayaman pun tak ubahnya desa santri. Pagi hari anak-anak berbusana rapi pergi ke madrasah. Sora hari hingga setelah maghrib, anak-anak tersebut mengaji di mushola atau para rumah ustadz.
Baca juga : Begini Wujud Ruang Tahanan Zaman Penjajahan Dahulu
Di bulan ramadhan, kegiatan di masjid justru ramai ketika malam hari. Biasanya tarawih dimulai oleh jama’ah perempuan. Menjelang pukul 10 malam, giliran kaum lelaki yang memenuhi masjid. Setelah tarawih, mereka terus menghidupkan malam dengan bertadarus, memukul bedug pertanda sahur, dan shalat shubuh berjama’ah.
Seni Khas Kampung Pegayaman
Kampung Pegayaman memiliki kesenian khas, yakni hadrah dan bordah. Selain di maulid nabi, kesenian ini juga ditampilkan saat pernikahan dan khitanan. Pemain hadrah rata-rata anak muda dengan memakai seragam mereka bershalawat sambil berlenggak lenggok mengikuti irama rebana.
Seni Hadrah dan Bordah di Pegayaman |
Sedang bordah umumnya dilakukan kalangan tua. Mereka melantunkan sya’ir Barzanji karya sastra Arab klasik yang berisi riwayat dan puji pujian kepada Rasulullaw saw. Nada-nada Barzanji yang dibacakan mirip dengan kakawin, kidung, dan geguritan Bali.
EmoticonEmoticon